Senjakala Kepercayaan pada KPK
Gema dikeluarkannya Novel Baswedan beserta beberapa koleganya dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rasanya masih menggaung hingga hari ini. Kita tahu, mereka resmi dikeluarkan pada 30 September 2021.
Mereka dikeluarkan bukan tanpa alasan. Akan tetapi, proses pemecatan dinilai janggal dan musykil. Dimulai dan tak lepas dari tes wawasan kebangsaan (TWK) yang bagi banyak pihak dianggap sangat problematik.
Barangkali kita berhak curiga: jangan-jangan ada kepentingan segelintir pihak untuk memuluskan hasrat politiknya. Lantas kepentingan apa dan siapa yang dimuluskan dengan dikeluarkannya Novel Baswedan beserta kolega?
TWK ala KPK
TWK merupakan “menu baru” di KPK yang menghidangkan segudang problematika. Tujuannya sebagai salah satu tahapan alih status insan KPK sebagai aparatur sipil negara. Melalui TWK tersebut, tidak semua insan KPK lulus, termasuk Novel Baswedan dan beberapa kolega.
Terlihat ada kejanggalan dalam TWK terhadap insan KPK yang dengan sengaja dibuat dengan tujuan tertentu. Pasalnya, ada beberapa pertanyaan yang tidak jelas relevansi dan korelasinya terhadap kinerja yang seharusnya dijalankan oleh KPK.
TWK dihidangkan, seakan-akan, ingin menendang orang-orang yang berkualitas. Juga, memiliki jam terbang tinggi yang tak perlu diragukan lagi dalam mengusut kasus-kasus besar korupsi. Hal tersebut justru menggerogoti tubuh KPK sendiri. Singkatnya, dengan adanya TWK, KPK sedang melakukan pekerjaan menggali kuburnya sendiri.
Dugaan Pemerasan oleh Ketua KPK
Rupa-rupanya, lembaga antirasuah itu kini telah kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Belum lama ini, Ketua KPK, Firli Bahuri, terjerat dugaan kasus korupsi. Ia menjadi tersangka dalam kasus pemerasan dan penerimaan gratifikasi dalam pengusutan korupsi di Kementerian Pertanian yang dipimpin Syahrul Yasin Limpo.
Kasus dugaan korupsi yang menjerat sang ketua adalah yang pertama bagi KPK sejak berdiri pada 2003. Lantas hendak ke mana lagi kita menggantungkan kepercayaan di tengah carut-marutnya stabilitas negara dalam menegakan hukum?
Goenawan Mohammad berujar, negeri ini telah jadi sederet labirin yang membusuk. Pelan-pelan baunya akan semakin menyengat bila tak ada upaya untuk penyembuhan pada KPK, misalnya. Orang-orang pun akan menjauhi dan tidak mau mengenalnya lagi. Tragis.
Drama yang terjadi di dalam tubuh KPK mungkin tak bisa dilupakan. Sejarah akan terus berbicara. Entah bertuan pada hukum atau berada dalam kepentingan politik (kekuasaan).
Betapa mengenaskan apa yang terjadi di KPK saat ini. Padahal, dulu, ia banjir kepercayaan publik. Semoga mulai berbenah!(*)
(*) Anas Sholihuddin adalah mahasiswa angkatan 2022 pada Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Kediri.