Artikel

Menggurat Human Rights Values dalam Organ Ketatanegaraan

Negara merupakan suatu organisasi manusia yang kompleks memiliki tujuan tertentu. Dalam ilmu negara dikenal apa yang dinamakan unsur-unsur negara, yakni rakyat, pemerintahan yang berdaulat dan wilayah serta pengakuan dari negara lain. Namun, mari merenungkan sejenak sebuah alasan kenapa negara itu ada? Kenapa organisasi itu ada? serta yang lebih inti dari pertanyaan sebelumnya adalah mengapa orang-orang itu berkumpul?

Jawabannya tentu akan sangat beragam, karena tidak semua memiliki alasan yang sama untuk berkumpul. Bisa jadi karena adanya rasa takut, mencari perlindungan, memenuhi kebutuhan dan lain sebagainya. Perasaan tersebut secara naluriah adalah wajar sebagai makhluk sosial (teori hukum alam).  

Berkumpulnya manusia menjadi sebuah kelompok tentunya akan menimbulkan interaksi. Interaksi untuk memenuhi kebutuhan dan berbagai kepentingan setiap individu. Kepentingan setiap individu pastinya berbeda-beda tidak selalu sesuai dengan harapan setiap orang. Dari sini gesekan-gesekan antar kepentingan mulai terjadi jika tidak saling bersesuaian sampai dengan terjadinya konflik antar individu. Biasanya jika sudah seperti ini konflik fisik tidak lagi dapat dicegah.

Untuk menghentikan konflik dan mencegahnya agar tidak terjadi lagi, maka setiap individu dalam kelompok tersebut bersepakat membuat perjanjian untuk memilih seorang yang memiliki kapabilitas untuk menjaga ketertiban, seseorang yang memiliki kebijaksanaan untuk mengatur, untuk memimpin kelompok (ubi societas, ibi ius). Maka yang seperti ini disebut sebagai teori kontrak sosial atau perjanjian masyarakat.

Teori ini dikemukakan oleh Thomas Hobbes (1588 – 1679), manusia memiliki hasrat/hawa nafsu, keengganan yang tidak terbatas. Untuk mewujudkannya manusia berjuang dengan kekuatannya sendiri-sendiri. Mereka paham risiko kematian ketika berperang. Maka manusia membuat kondisi buatan dengan membuat perjanjian sosial.

John Locke (1632 – 1704), sumber kewenangan dan pemegang kewenangan adalah masyarakat. Kepatuhan politik masyarakat terhadap negara adalah kepercayaan. Muncul sikap toleransi untuk memenuhi kebutuhan. Threat: adakalanya yang kuat memperdaya yang lemah (homo hominis lupus), membuat kondisi buatan dengan perjanjian sosial.

Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778), memahami bahwa manusia diciptakan sama namun keadaanlah yang membedakan. Muncul keadaan yang di“istimewa”kan karena lebih kaya, terhormat, dan lain-lain. Untuk mencegah diskriminasi dibuatlah perjanjian. Muncul lembaga legislatif (langsung tanpa perwakilan) yang membawahi eksekutif.

Semakin kompleksnya kepentingan individu dalam masyarakat, tentu membawa konsekuensi bahwa yang di“perjanjikan” itu tadi semakin kompleks pula. Perjanjian inilah kemudian berkembang dan dikenal sebagai sebuah konstitusi (peraturan dasar dalam bernegara).

Sebelum teori kontrak sosial ini berkembang, telah muncul teori-teori asal mula negara beberapa diantaranya adalah teori ketuhanan, teori hukum alam, teori organis dan teori keturunan (teori pembentukan negara klasik). Dari sini tiap negara kemudian berkembang sesuai dengan tujuannya masing-masing.

John Locke, merumuskan adanya hak alamiah yang dimiliki manusia yakni: hak atas hidup, hak kebebasan dan hak milik. Hak Asasi Manusia (HAM) dikembangkan oleh dunia modern yang global. Mengacu kepada konsepsi barat yang berdasarkan Judeo Christian yang awalnya dikonsepsikan secara sempit dan terbatas. Kemudian berkembang seiring dengan imperialisme barat, HAM juga berkembang sehingga sampai sekarang dikenal dengan universalitas HAM.

Sejarahnya (dari barat) ada 3 tonggak penting dalam perkembangan HAM; yang pertama, adalah Magna Charta (1215), peristiwa yang membatasi monarkisme kerajaan Inggris. Kedua, Revolusi Amerika (1776), dikenal juga sebagai Deklarational of Independence yang merupakan hari kemerdekaan Amerika Serikat pada 4 Juli 1776. Peristiwa perlawanan terhadap penjajahan inggris. perkembangan selanjutnya pada Franklin D. Rooselvelt (Presiden Amerika ke-32) menyampaikan pandangannya terkait dengan HAM, yakni freedom of religion, freedoom of speech, freedom from want, freedoom from fear. Ketiga, Revolusi Perancis (1789), dikenal juga sebagai declaration droits de fhomme et du citoyen atau pernyataan hak-hak manusia dan warga negara. Secara garis besar isinya adalah kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite).

Dari sudut pandang Islam, HAM sudah dikenal sejak terbentuknya Piagam Madinah pada tahun 622 Masehi. Sebagai konstitusi diantara suku-suku dan kaum-kaum di Yasthrib yang kala itu selalu berperang. Menempatkan Nabi Muhammad SAW. sebagai tokoh sentral dalam piagam tersebut agar perdamaian tetap terjaga. Kemudian Deklarasi Arafah, yang dideklarasikan Nabi Muhammad SAW. saat menunaikan ibadah haji di padang Arafah, yang didalamnya terdapat 10 prinsip, yaitu: (1) Prinsip ke-Esa-an Tuhan; (2) Kesatuan manusia; (3) Persaudaraan dalam Iman; (4) Kewaspadaan terhadap godaan syaitan; (5) Kewajiban berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As –Sunnah; (6) Penghormatan terhadap hak jiwa dan harta; (7) Jaminan hak-hak suami istri; (8) Perlindungan terhadap ahli waris (9) Pembinaan hubungan kerja; dan (10) Keadilan hukum dan hukuman.

Konsepsi universalitas HAM ini kemudian menjadi kontroversial mengingat tidak semua masyarakat menerima konsepsi universalitas HAM. Kita semua bersepakat jika genosida, terorisme adalah perbuatan keji bagi kemanusiaan, siapa saja pasti akan menyepakati hal itu. Namun bagaimana dengan LGBT, apakah semua orang menerimanya? Bagi kalangan beragama tentunya itu bertentangan dengan keyakinan dan ajaran mereka. Adnan Buyung Nasution memberikan masukan bahwa universalitas HAM ini harus disikapi dengan bijaksana dan proporsional.

Guratan yang membuka hubungan antara Tatanegara dengan HAM menjadikan jelas bahwa salah alasan kenapa negara harus ditata sedemikian rupa adalah demi pemenuhan nilai-nilai hak asasi manusia. Jika mengacu pada teorinya Montesqieu mengenai trias politica (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dalam konteks negara demokratism, maka eksekutif dibentuk agar bisa memberikan perlindungan, mengatur dan memerintah rakyatnya. Legislatif dibentuk untuk mewakili masyarakat yang berfungsi mengawasi jalannya eksekutif. Yudikatif dibentuk untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat (asas pemisahan dan pembagian kekuasaan).

Legislatif diberikan kewenangan membentuk undang-undang untuk dirinya sendiri, eksekutif, yudikatif dan warga negara. Menurut Jimmly Assiddiqie. pembentukan dan pembuatan hukum terdiri dari 3 hal, yaitu the state law, the people’s law dan the profesor’s law.

Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely, sebuah adagium dari Lord Acton. Bahwa kekuasaan yang dimiliki seseorang itu harus dibatasi agar tidak memunculkan tindakan yang melanggar hak asasi manusia. Sehingga dibuatlah mekanisme pemilu, agar kekuasaan bisa dirotasi dengan baik tanpa harus menggunakan kekerasan (kudeta, pembunuhan, dan lain-lain), tapi melalui saluran yang telah diperjanjikan (diatur dalam undang-undang), dalam hal ini melalui mekanisme pemilu. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih (wujud hak sipil dan politik/convention of civil and political rights).

Secara mutatis mutandis hal serupa juga memiliki alasan yang sama dalam pembentukan kelembagaan negara. Lembaga-lembaga negara dibentuk untuk melindungi, memajukan HAM warga negaranya. Misalkan Kementerian Dalam Negeri melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mengeluarkan produknya berupa Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, dan lain-lain sebagai perwujudan kepastian hukum terhadap warga negaranya. Sehingga bisa digunakan untuk melakukan kegiatan administratif lainnya.

Sistem ketatanegaraan sudah seyogyanya disusun dengan memperhatikan dimensi-dimensi hak asasi manusia. HAM tidak diberikan oleh negara, melainkan ia telah melekat sejak sebelum lahir sampai setelah ia meninggal. Negara berkewajiban memberikan jaminan pemenuhan, perlindungan, memajukan dan memastikan warga negara dalam keadaan yang paling ideal.(*)

(*) Disampaikan pada kegiatan Pelatihan Kader Dasar (PKD) II oleh Pengurus Rayon Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Asy-Syafi’i Komisariat Sunan Ampel Kediri “Semangat Kader Mujahid Yang Sastri Sebagai Proses Menuju Nawasena”.