Peran Keluarga dalam Mewujudkan Perdamaian Bangsa
Indonesia adalah negara yang terkenal akan keberagamannya, baik suku bangsa, agama, ras, adat istiadat, maupun bahasa. Dengan demikian, kesadaran seluruh warga negara akan keberagaman merupakan sebuah keharusan. Kesadaran ini menjadi sebuah konsensus yang harus dicapai untuk mewujudkan tujuan “perdamaian” negara Indonesia yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4, yaitu “… melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Sayangnya, kesadaran akan keberagaman masih menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan mengingat berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini. Contohnya, muncul berbagai perilaku intoleran, rasisme, hingga terorisme yang merujuk pada identitas kelompok-kelompok tertentu. Selain di kehidupan nyata, tindakan-tindakan semacam tersebut juga tumbuh dengan subur melalui dunia maya. Seringkali kita mendapati perseteruan yang berunsur suku, agam, ras, dan antargolongan melalui media sosial yang berakhir pada fenomena lapor-melapor ke pihak berwajib.
Hal ini menjadi bukti kuat bahwa kesadaran akan keberagaman dengan internalisasi nilai-nilai pluralisme perlu digalakkan lebih masif lagi. Tidak hanya implementasi parsial, namun kesadaran akan keberagaman harus universal pada setiap warga negara untuk mencapai perdamaian bangsa. Oleh karena itu, tempat-tempat pendidikan harus menjadi wadah yang mampu membentuk kesadaran tersebut dalam kepribadian setiap anak, khususnya pada lingkungan keluarga.
Keluarga sebagai salah satu tempat pendidikan adalah wahana pertama dan utama dalam pembentukan kepribadian anak. Menurut Freud Lazarus (Hamdun, 2017), lingkungan keluarga berpengaruh pada perkembangan anak sebagai titik tolak perkembangan kemampuan dan ketidakmampuan penyesuaian anak. Dengan demikian, keluarga, dalam hal ini orang tua, tentu memainkan peran penting sebagai lingkungan dan pendidik primer untuk membentuk nilai-nilai pluralisme dalam perkembangan kepribadian anak.
Seorang anak mengenal identitasnya melalui lingkungan keluarga. Diajarkan atau tidak, identitas tersebut akan melekat pada anak. Karena terbiasa, secara tak langsung dalam diri anak akan tumbuh rasa kecintaan dan rela membela serta mempertahankan identitasnya. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, namun setiap orang tua juga harus memberi pemahaman kepada anak bahwa di luar sana ada berbagai identitas yang dimiliki oleh orang lain yang juga wajib untuk dihormati dan dihargai.
Sikap saling menghormati dan menghargai haruslah dipupuk sedini mungkin. Terdapat beberapa pola pendidikan yang dapat diterapkan untuk menanamkan kesadaran akan keberagaman kepada anak seperti pembiasaan, keteladanan, bercerita, dan lain sebagainya (Zeuny, 2019). Orang tua harus memberikan pemahaman kepada anak bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang harus dipandang sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan tidak menjadikannya sebagai celah untuk berseteru.
Orang tua patut menjadi contoh teladan bagi anaknya dalam menjunjung nilai-nilai pluralisme, misalnya, membangun hubungan yang baik dengan keluarga lain walaupun berbeda agama. Menceritakan kisah-kisah inspiratif terkait toleransi atau multikultural juga bisa menjadi jalan efektif bagi orang tua dalam menanamkan kesadaran akan keragaman pada anak.
Apabila anak telah menunjukkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai pluralisme, orang tua dapat memberikan penghargaan seperti pujian. Sebaliknya, apabila anak berprilaku negatif dalam memandang keberagaman, maka orang tua perlu memberikan hukuman. Penghargaan dan hukuman ini merupakan peran kontrol yang dimiliki oleh keluarga ketika anak telah memasuki lingkungan masyarakat yang luas. Dengan demikian, ketika orang tua mampu menjadi pendidik yang mencipatakan kesadaran akan keragaman di setiap anaknya, perdamaian bangsa kelak dapat diwujudkan.