May Day, Momen Perjuangan Para Buruh
May Day diperingati sebagai hari buruh yang jatuh pada tanggal 1 Mei setiap tahunnya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pada tanggal tersebut, para buruh melakukan aksi dan menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah dan para pengusaha untuk tetap selalu memperhatikan kesejahteraan hidup para buruh.
Istilah buruh merupakan peninggalan jaman feodal, yaitu orang yang melakukan pekerjaan tangan atau pekerjaan kasar seperti kuli atau tukang yang melakukan pekerjaan berat dan kotor, yang lebih dikenal dengan nama “blue collar”. Di sisi yang lain, pada perkembangannya kemudian, di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dijumpai istilah tenaga kerja dan pekerja.
Seyogyanya, tindakan para buruh dalam melakukan aksi dan menyuarakan aspirasinya ini sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal ini berbicara tentang perlindungan dan hak warga negara Indonesia dalam hal pekerjaan dan keseluruhan penunjang kehidupan, dengan ukuran kriterianya adalah layak bagi kemanusiaan.
Di samping itu, aksi buruh juga bertujuan untuk meningkatkan hubungan yang harmonis antarlembaga bipartit yang berada di perusahaan. Dengan adanya hubungan yang harmonis, diharapkan setiap masalah yang muncul antara pihak buruh dengan pengusaha dapat segera diselesaikan dan membuahkan keputusan yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak dan juga pihak-pihak lain yang terkait, pemerintah misalnya.
Kembali membahas mengenai May Day. Tanggal 1 Mei ditetapkan menjadi hari perjuangan kelas pekerja sedunia. 1 Mei dipilih, karena mereka terinspirasi kesuksesan aksi buruh di Kanada pada tahun 1872. Ketika itu, buruh Kanada menuntut delapan jam kerja, seperti buruh di Amerika Serikat, dan mereka berhasil. Delapan jam kerja di Kanada resmi diberlakukan mulai tanggal 1 Mei 1886.
Di Indonesia, May Day mempunyai sejarah yang panjang. Pada tahun 1918, tepatnya di Surabaya, May Day diperingati. Bahkan, beberapa sumber menyatakan, peringatan May Day di Surabaya tersebut adalah yang pertama di Asia. Hadir kala itu Sneevliet dan Baars dari Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda (ISDV).
Sneevliet menulis artikel dalam Het Vrije Woord berjudul “Onze Eerste 1 Mei Viering (Perayaan Satu Mei Pertama Kita)”. Artikel itu berisi tentang kekecewaannya pada perayaan hari buruh yang digelar pada awal bulan Mei di Surabaya, karena yang hadir pada perayaan itu hanya orang-orang Belanda. Begitu dilansir oleh Historia.
Peringatan berikutnya tercatat pada tahun 1921, saat HOS Tjokroaminoto dan muridnya, Sukarno, berpidato di bawah Sarekat Islam. Dalam rapat Serikat Buruh Kereta Api dan Tram pada tanggal 1 Mei 1923, Semaun berpidato untuk menyebutkan sejumlah permasalahan buruh dan menyerukan untuk melakukan aksi mogok. Sejumlah isu yang disebutkan, antara lain, jam kerja, badan artibrase untuk menyelesaikan sengketa kerja, kenaikan gaji, serta larangan PHK sepihak.
Namun, sejak masa orde baru, hari buruh tidak lagi diperingati di Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa aksi peringatan May Day masuk kategori aktivitas subversif. Bahkan, saat itu, May Day dikonotasikan dengan ideologi komunis.
Setelah orde baru tumbang, peringatan May Day kembali marak, meskipun 1 Mei bukan hari libur nasional. Kemudian, pada tahun 2013, pemerintah merencanakan tanggal 1 Mei sebagai hari libur nasional dan baru terealisasi pada tahun 2014. Dan, sampai saat ini, di Indonesia, peringatan Hari Buruh 1 Mei diperingati dengan melakukan aksi demonstrasi dan berorasi menyampaikan tuntutan-tuntutan, salah satunya, mengenai kesejahteraan buruh.
May Day dalam Situasi Pandemi
2020 memang menjadi tahun yang berat bagi seluruh negara di dunia. Wabah Covid-19 mengakibatkan kelumpuhan pada hampir semua sektor. Bidang-bidang industri dan perkantoran banyak yang terpaksa merumahkan karyawannya.
May Day pada tahun 2020 yang lalu memang menjadi berbeda dari peringatan pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, buruh di seluruh dunia tidak bisa dapat memperingati May Day seperti biasanya. Sebab pandemi Covid-19, menuntut pemerintah dan juga penduduk dunia untuk saling menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, memakai masker, dan tentunya larangan berkumpul, seperti melakukan aksi pada tanggal 1 Mei pada setiap tahunnya.
Oleh karena itu, peringatan May Day dilakukan dengan cara yang berbeda. Mulai dari selebrasi virtual, pameran foto para pekerja, dan ada pula yang tetap turun ke jalan dengan menerapkan batasan tertentu (Efendi: 2020). Seperti dilansir Tirto.id (1/5/2020), Singapura, misalnya, menggelar perayaan May Day 2020 secara virtual untuk pertama kalinya, mengingat masih adanya ancaman Covid-19 di Negeri Singa. Biasanya, ada lebih dari 1.500 buruh dan mitra tripatrit berkumpul serta membuat long march untuk memperingati May Day.
Masih dalam Tirto.id, Straits Time melansir, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, menyampaikan pidato May Day yang disiarkan secara serentak di televisi nasional. Selain itu, pidato disampaikan melalui siaran media sosial, termasuk laman Facebook resmi Kantor Perdana Menteri dan Kongres Serikat Buruh Nasional Singapura (NTUC).
Di Indonesia sendiri, seperti dilansir Bisnis.com, tak ada aksi turun ke jalan saat May Day 2020. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memperingati May Day tanpa turun ke jalan pada 1 Mei 2020. Mengingat dalam situasi pandemi Covid-19 tidak memungkinkan menyelenggarakan kegiatan yang menghadirkan banyak orang, seperti menggelar pawai atau unjuk rasa seperti tahun-tahun sebelumnya
Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan, para buruh melakukan kegiatan seperti bakti sosial dan penggalangan dana untuk membantu buruh terdampak wabah Covid-19. “Buruh tidak akan melakukan aksi turun ke jalan pada May Day besok (1 Mei 2020), tetapi kami akan melakukan kegiatan-kegiatan dalam bentuk lain yang menyuarakan isu perjuangan kaum buruh,” kata Presiden KSPI sebagaimana dikutip dari Antara.
May Day 2021 dan Undang-Undang Cipta Kerja
Oktober 2020, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) disahkan dan mulai diterapkan pada November 2020. Tentu, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa undang-undang yang disusun dengan metode Omnibus Law ini menciptakan polemik. UU Cipta Kerja dinilai banyak merugikan para pihak, khususnya para buruh.
Dikutip dari Tirto.id, Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan, buruh akan fokus pada 2 (dua) isu dalam peringatan May Day 2021. Pertama, terkait dengan UU Cipta Kerja. Kedua, tentang Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK).
Dalam konferensi persnya yang dilakukan secara virtual, ia meminta Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU Cipta Kerja, yang menyangkut klaster ketenagakerjaan, karena dianggap merugikan buruh. Selain itu, dalam aksinya pada akhir pekan ini, para buruh atau pekerja juga mendorong pemerintah untuk memberlakukan UMSK pada tahun 2021, yang menurut mereka berpengaruh terhadap kepastian pendapatan pekerja.
Lebih lanjut, seperti yang diberitakan oleh Merdeka.com, saat ini, Said Iqbal sudah bertemu dan berkoordinasi dengan organisasi gerakan mahasiswa, seperti Badan Ekeskutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan beberapa BEM yang lainnya. Menurutnya, masalah mengenai Omnibus Law bukan hanya masalah buruh yang saat ini sedang bekerja, tetapi juga generasi muda yang nanti akan memasuki pasar kerja.
Khusus dari KSPI, peringatan May Day kali ini akan diikuti sekurang-kurangnya 50.000 buruh, di 3.000 perusahaan, 200 kabupaten/kota, dan 24 provinsi. Sementara itu, di Jakarta, aksi akan dipusatkan di Istana Negara dan Mahkamah Konstitusi.
Well, kita lihat saja, apakah aksi pada May Day tahun ini dapat membawa perubahan bagi para buruh di Indonesia?
Apakah momen hari buruh internasional ini dapat membawa perubahan, khususnya tuntutan perihal uji formil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi?
Apakah masih hanya sebatas euforia tahunan semata, yang setelahnya hak-hak buruh masih banyak yang belum terfasilitasi?