Artikel

Mengenai UU ITE: (Wacana) Mengubah Substansi atau Penegak Hukum yang Harus “Menyesuaikan Diri”?

Yang dimaksud sebagai “UU ITE” adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016. Gagasan UU ITE bermula sekitar awal tahun 2000 saat era Presiden Abdurrahman Wahid. Ketika itu, masih terjadi kekosongan hukum di ranah dunia maya atau siber. Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Padjajaran (Unpad) masing-masing menyusun konsep RUU Cyberlaw.

RUU Cyberlaw versi Unpad bersifat umum yang mengatur mulai dari perlindungan hak pribadi, e-commerce, persaingan usaha tidak sehat, perlindungan konsumen, hak kekayaan intelektual, dan tindak pidana siber. Konsep cyberlaw Unpad tersebut bernama RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI).

Konsep RUU Cyberlaw versi UI bersifat spesifik, yaitu hanya mengatur yang berkaitan dengan transaksi elektronik, semisal tanda tangan digital. UI menamainya RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (IETE).

Gagasan UI dan Unpad kemudian digabung menjadi satu naskah RUU pada 2003. Saat itu, era Presiden Megawati Soekarnoputri.

Setelah melalui pembahasan di DPR yang berlangsung sejak 2003, UU ITE akhirnya disahkan DPR pada 25 Maret 2008. UU ITE kemudian diteken Presiden SBY pada 21 April 2008 dan diundangkan di hari yang sama.

DPR RI bersama Pemerintah akhirnya merevisi UU ITE dan disahkan pada tanggal 27 Oktober 2016. Revisi UU ITE diteken Jokowi pada tanggal 25 November 2016 dan diundangkan di hari yang sama.

UU ITE sebagai Hukum Pidana Administrasi

“UU ITE ini merupakan UU Administrasi, bukan UU Pidana. UU Administrasi itu tidak boleh mengandung pidana berat. Paling-paling kurungan enam bulan atau denda. Dan, yang paling banyak itu mestinya sanksi administrasi, sanksi administratif, misalnya, tutup perusahaan cabut izin, nah itu, bukan pidana,” kata Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, S.H., M.H., dalam acara Indonesia Lawyer Club yang ditayangkan TVOne, Selasa, 5 Februari 2019.

Hukum pidana administrasi atau lazim disebut “administrative penal law” adalah semua produk legislasi berupa perundang-undangan (dalam lingkup) administrasi (negara) yang memiliki sanksi pidana (Indriyanto Seno Adji, 2014). Agar seluruh ketentuan administrasi negara dapat berlaku secara efektif, maka dikembangkan suatu kebijakan penegakan hukum dengan melakukan fungsionalisasi aspek hukum pidana dalam peraturan-peraturan yang bersifat administrasi, sehingga memunculkan hukum pidana administrasi (Topo Santoso, 2020: 233-234).

Logikanya adalah hendaknya sanksi pidana tersebut didayagunakan apabila sanksi administratif sudah tidak mempan. Namun, langkah-langkah yang bersifat shock therapy kadang-kadang perlu dilakukan, khususnya yang berkaitan dengan pelaku tindak pidana yang sudah keterlaluan dan menimbulkan kerugian besar (Muladi, 1995: 42).

Hukum pidana administrasi adalah hukum pidana khusus eksternal yang memiliki 3 (tiga) karakter. Pertama, sanksi pidananya adalah ultimum remidium. Kedua, stelsel pemidanaannya adalah alternatif (menggunakan kata “atau”). Ketiga, sanksi administratif merupakan subtitute dari sanksi pidana (Edward O.S. Hiariej, 2020).

Tentang ultimum remidium, Topo Santoso (2020: 121-154) memberikan beberapa catatan penting. Pertama, ultimum remidium diartikan sebagai “pengobatan (remidi) terakhir” dan “senjata pamungkas” yang dimaksudkan bahwa hukum pidana hendaknya digunakan apabila benar-benar tidak ada jalan lainnya untuk menanggulangi persoalan di masyarakat.

Kedua, ultimum remidium sebagai prinsip moral hanya menjadi pedoman moral, sedangkan sebagai prinsip hukum akan mempunyai konsekuensi apabila tidak digunakan dalam penyusunan perundang-undangan dan penegakan hukum. Ketiga, di Uni Eropa, ada 2 (dua) langkah ketika mengambil keputusan tentang tindakan pidana, yaitu mempertimbangkan kebutuhan dan proporsionalitas serta menentukan tindakan konkrit yang dibatasi oleh aturan minimum dan pendefinisian secara jelas berbasis bukti faktual sesuai data statistik dari otoritas nasional.

Penegakan Hukum (Pidana) terkait UU ITE

Merujuk pada situs registrasi Mahkamah Agung (MA), ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Kedua adalah kasus ujaran kebencian Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Kedua pasal ini memiliki tafsir yang sangat lentur, sehingga banyak orang bisa dengan mudah terjerat UU ITE. (interaktif.tempo.co., 21 Agustus 2020).

Terkait rilis sebagaimana tersebut di atas, penulis mencatat ada 4 (empat) hal yang sangat krusial. Pertama, Di dalam UU ITE mengatur perihal: (1) informasi, dokumen, dan tanda tangan elektronik; (2) penyelenggaraan sertifikasi elektronik dan sistem elektronik; (3) transaksi elektronik; (4) nama domain, hak kekayaan intelektual, dan perlindungan hak pribadi; (5) perbuatan yang dilarang; (6) penyelesaian sengketa; (7) peran pemerintah dan peran masyarakat; (8) penyidikan; serta (9) ketentuan pidana. Artinya, UU ITE tidak hanya mengatur perbuatan yang dilarang dan ketentuan pidana, tetapi ada hal-hal administratif yang diperlukan. Oleh karena itu, UU ITE dapat dikategorikan sebagai undang-undang administrasi yang memuat ketentuan pidana atau hukum pidana administrasi atau hukum pidana khusus eksternal yang mempunyai kriteria-kriteria tertentu.

Kedua, merujuk kepada data pada laman MA sebagaimana dilansir oleh Tempo.co, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE) dan ujaran kebencian (Pasal 28 ayat (2) UU ITE). Artinya, hukum pidana digunakan sebagai upaya utama dalam menyikapi perbuatan-perbuatan yang melanggar UU ITE. Dengan demikian, penegakan hukum terkait UU ITE telah melampaui “hakikatnya” sebagai hukum pidana administrasi, karena tidak mengedepankan atau mengabaikan prinsip ultimum remidum.

Ketiga, ketentuan pidana pada UU ITE diatur di dalam Pasal 45, Pasal 45 A, Pasal 46 B, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52. Stelsel pidana yang dipakai adalah kumulatif-alternatif dengan menggunakan frasa “dan/atau”. Dengan demikian, UU ITE telah melampaui “hakikatnya” sebagai hukum pidana administrasi, karena tidak menggunakan stelsel pidana secara alternatif dengan menggunakan kata “atau”.

Keempat, merujuk kepada data pada laman MA sebagaimana dilansir oleh Tempo.co, ada 508 perkara di pengadilan yang menggunakan UU ITE sepanjang 2011-2018. Kasus terbanyak adalah pidana yang berhubungan dengan penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat (3) UU ITE) dan ujaran kebencian (Pasal 28 ayat (2) UU ITE). Artinya, pidana masih dijadikan sebagai sanksi utama oleh penegak hukum bagi yang melanggar UU ITE. Dengan demikian, UU ITE telah melampaui “hakikatnya” sebagai hukum pidana administrasi, karena nyatanya sanksi administrasi bukan merupakan subtitute dari sanksi pidana.

Mengubah Substansi atau Penegak Hukum yang Harus “Menyesuaikan Diri”?

Apabila mengubah substansi UU ITE bukan hanya sebuah wacana, maka penulis memberikan 3 (tiga) rekomendasi. Pertama, penegakan hukum pidana terkait UU ITE harus berdasarkan pada prinsip ultimum remidium, yaitu mengedepankan upaya-upaya nonpenal. Kedua, pembentuk undang-undang penting untuk mengubah stelsel pidana di dalam UU ITE menjadi alternatif. Ketiga, pembentuk undang-undang penting untuk merumuskan pasal yang menentukan bahwa pidana adalah sanksi yang terakhir.

Apabila kemudian mengubah substansi UU ITE hanya sebuah wacana, maka pilihan rasionalnya adalah penegak hukum yang harus “menyesuaikan diri”. Sesungguhnya pilihan yang sangat rasional ini telah memiliki beberapa dasar hukum untuk mengembalikan UU ITE kepada hakikatnya sebagai hukum pidana administrasi.

Pertama, Kapolri telah menandatangani surat edaran nomor: SE/2/11/2021, 19 Februari 2021. Isinya, penyelesaian perkara pidana terkait UU ITE diupayakan menggunakan pendekatan restorative justice. Salah satu rujukannya adalah surat edaran yang dikeluarkan pada tahun 2018 dan peraturan kapolri tentang penyidikan yang memungkinkan menerapkan pendekatan restorative justice. Kiranya selaras juga dengan peraturan kejaksaan mengenai penerapan restorative justice.

Kedua, Putusan MA No. 225 PK/PID.SUS/2011, tanggal 17 September 2012, dapat menjadi rujukan bagi hakim yang tengah memeriksa perkara pidana terkait UU ITE. Putusan tersebut terkait perkara pidana yang pernah menjerat Prita Mulyasari yang didakwa melakukan pencemaran nama baik saat mengeluhkan pelayanan kesehatan Omni Hospital Alam Sutera. Melalui putusan peninjauan kembali tersebut, Prita Mulyasari bebas dari semua dakwaan.(*)