Artikel

Kado Akhir Tahun Bagi Para Tenaga Kerja

Sejak awal 2020 sampai pada penghujung 2021, hampir di seluruh penjuru dunia masih berkutat dengan kondisi pandemi Covid-19 yang mulai awal terdeteksi pada akhir 2019. Entah sampai kapan berakhirnya. Kita tentu tahu, pandemi Covid-19 menyerang seluruh sektor, mulai dari perekonomian, pariwisata, hiburan, hingga olahraga. Walaupun saat ini kondisi Covid-19 cenderung menurun, tetapi kita masih tidak bisa lepas dari protokol kesehatan jika berada di tempat umum atau keramaian. Terlebih pada penghujung 2021, sedang muncul varian baru: omicron.

Indonesia tentunya tidak bisa lepas dari efek pandemi Covid-19 di berbagai sektor pula. Mulai dari sektor perekonomian, pariwisata, hiburan, olahraga, tentunya juga dalam sektor yang paling banyak dialami oleh mayoritas masyarakat, yakni ketenagakerjaan. Sejak arus Covid-19 mulai menerjang, banyak sekali pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dari semua sektor. Seperti dilansir portal berita kompas.tv (16/8/2021), Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemenaker) mencatat hingga awal Agustus 2021, lebih dari 500 ribu pekerja kehilangan  pekerjaan, karena diberhentikan.

Dari data Kemnaker diketahui, terhitung sejak 7 Agustus 2021, pekerja yang di-PHK tercatat mencapai 538.305 orang. Indah Anggoro Putri selaku Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker menjelaskan, jumlah itu telah melebihi 50 persen dari perkiraan Kemenaker untuk angka PHK pada tahun ini yang sekitar 895.000 orang. Ia menjelaskan, dihitung dari jumlah  pekerja  yang sudah mengklaim jaminan hari tuanya, Kemenaker bahkan memproyeksikan sampai akhir 2021, sebanyak 894.579 pekerja  bisa terkena PHK. Dilihat dari perhitungan, maka jumlah rata-rata pekerja yang terkena PHK tiap bulannya mencapai 76.900.

Kemudian, di tengah ancaman PHK dalam arus pandemi Covid-19, sejak akhir tahun lalu kita tahu bersama bahwa di Indonesia mulai diberlakukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang disusun dengan metode omnibus law. UU Cipta Kerja dinilai banyak merugikan, khususnya terhadap para buruh. Para buruh lantang bersuara menolak berlakunya UU Cipta Kerja. Dikutip dari Tirto.id, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan, dalam peringatan May Day 2021 meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan UU Cipta Kerja, yang menyangkut klaster ketenagakerjaan, karena dianggap merugikan buruh.

Pada penghujung 2021, harapan tersebut mendapat angin segar. Pada Kamis, 25 November 2021, MK dalam putusannya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil. Untuk itu, MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat, yaitu pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan tersebut diucapkan. Dalam amar putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 itu, MK mengabulkan untuk sebagian permohonan yang diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.

Dalam pertimbangannya, MK menilai metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuatan UU baru atau melakukan revisi. MK juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik. Meskipun sudah melakukan beberapa pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, namun pertemuan itu dinilai belum sampai pada tahap substansi undang-undang. Begitu pula dengan draf UU Cipta Kerja juga dinilai MK tidak mudah diakses oleh publik. MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.

Putusan MK tersebut dapat dinilai sedikit membawa angin segar bagi kalangan buruh yang mayoritas kontra dengan UU Cipta Kerja. Mereka berharap pemerintah melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja dengan lebih mementingkan kepentingan para buruh. Bahkan, apabila tidak tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan MK, maka UU Cipta Kerja dinyatakan tidak berlaku.

Bagi para pekerja, putusan MK tersebut barangkali bisa menjadi “kado akhir tahun” sebagai penutup tahun 2021. Namun, perlu diingat, para pekerja masih dihantui “kado yang lain”, yang masih menjadi momok, yakni ancaman PHK sebagai imbas kondisi perekonomian yang belum stabil efek pandemi Covid-19.