Artikel

Mempermainkan atau Dipermainkan Demokrasi

Negara demokrasi hampir usai, ketika peristiwa yang miris di Indonesia, dialami oleh salah satu lembaga negara, Mahkamah Konstitusi (MK). Yang menurut beberapa pendapat, telah dengan mudah mengabulkan permohonan secara cepat tanpa mempertimbangkan akibat putusan tersebut.

Pemohon berasal dari mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Solo, yakni Almas Tsaqibbirru Re A, yang sangat mengidolakan sosok Gibran Rakabuming Raka.

Batas usia minimal di ajang kontestasi politik Pilpres pada 16 oktober lalu, sangat menciderai lembaga peradilan, MK. Sebab independensi lembaga tersebut lamat-lamat mengikis dengan putusan yang sarat dengan kepentingan.

Implikasi putusan MK tersebut, Gibran Rakabuming Raka sebagai putra dari Presiden Joko Widodo dapat maju di Pilpres 2024.

Pada saat peristiwa penuh kontroversi tersebut, Gibran berusia 36 tahun. Gibran dideklarasikan oleh Koalisi Indonesia Maju menjadi Cawapres dari Capres Prabowo Subianto, yang akan berkontestasi dalam pemilu presiden 2024.

Putusan MK yang sangat problematik terdapat di perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, menuai beragam kritikan, mulai dari masyarakat akar rumput sampai para ahli hukum tata negara.

Kini MK telah berada di jalan yang salah dan tersesat, karena menjalankan kewenanganya untuk membuat putusan tersebut, padahal lembaga yang berhak untuk persoalan ini dari lembaga legislatif berfungsi sebagai pembuat undang-undang (open legal policy).

Mau dibawah kemana Nasib MK sebagai lembaga yang dipercaya untuk menegakkan konstitusi, justru akan syarat konflik kepentingan untuk memenuhi hasrat politiknya.

Usut punya usut ternyata Ketua MK Anwar Usman diketahui adik ipar dari Presiden Jokowi atau paman dari Cawapres Gibran. Seharusnya hakim konstitusi harus berhati-hati jika ada persoalan terkait keluarga atau menolak permohonan, bahkan tak menyidangkan.

Hal ini terdapat indikasi bahwa kekuasaan politik mempengaruhi hukum yang dapat mengakibatkan hukum menjadi lumpuh dan tidak berdaya lagi, dikalahkan oleh keserekahan kekuasaan politik.

Bagaimana posisi MK dalam politik praktis

Apakah negara Indonesia masih bisah dikatakan negara hukum? Jika dilihat dari sederet kenyataan yang terjadi, hukum kalah dengan kekuasaan. hukum merupakan produk politik tapi apa boleh jadi jika tidak disertai dengan etika, maka akan menimbulkan kecemasan, keresahan dan pesimis.

Dengan label yang selalu digaungkan bahwa Indonesia adalah negara hukum, mengingat bahwa yang menjadi ketua MK adalah keluarga dari presiden, dengan segala mekanisme memberi karpet merah kepada putra sulung presiden, Gibran.

Seharusnya bagi seorang hakim apabila menemukan sebuah persoalan yang menyangkut dengan keluarga, alangkah lebih baik untuk mundur, bahkan wajib demi menghindari kepentingan konflik,.karena hukum tidak memandang pribadi-pribadi.

Hal ini terdapat asas hukum yang dapat dijadikan pengangan bagi seorang hakim dalam mengadili dan memutuskan perkara yaitu nemo judex idoneus in propria causa.Asas ini berlaku secara universal bagi hakim, tidak boleh seorang hakim mengadili perkara yang berkaitan dengan dirinya.

Hal ini untuk menjamin objektifitas sebuah peradilan agar tidak banyak diintervensi oleh pihak-pihak yang mau mempermainkan hukum demi kepentingan pribadi, sehingga dapat merusak sistem ketatanegaraan.

Beberapa postulat lainya yang berkaitan dengan asas di atas Aliquis non debet esse jude in proria causa, quia non potest esse judex et pars. Hakim tidak boleh memproses perkaranya sendiri, sekaligus bertindak sebagai hakim dari salah satu pihak yang bersengketa. Perkara seperti ini harus ditindaklanjuti secara tegas agar tidak muncul benih-benih nepotisme di dunia peradilan khususnya di lembaga ketatanegaraan, demi tegaknya amanat konstitusi.

Selanjutnya, asas iniquum est aliquem rei sui esse judicem memiliki arti mustahil untuk mencapai taraf adil jika hakim menangani perkara terkait dirinya. Hal ini juga harus disoroti bagi publik untuk menginvestigasi apakah hakim terikat dengan proses peradilan mengenai dirinya.

Berikutnya, in re propria iniquum admodum est alicui licentiam tribuere sententiae, tidak membolehkan bagi hakim menangani kasusnya sendiri. Hal ini sangat penting sekali untuk mencapai proses keadilan yang seadil-adilnya.

Asas nemo debet esse judex in propria causa, jangan membiarkan seorang hakim memproses perkaranya sendiri. Kita mengetahui bahwa yang terjadi di MK justru hakim menangani perkara dari keluarganya sendiri, berakibat membuat kegaduhan dan memperkeruh keadaan.

Asas nemo sibi esse judex vel suis jus dicere debet, perkara yang menyangkut dirinya hakim tidak boleh menangani. Hal ini akan berdampak melanggar aturan konstitusi.

Selain itu, asas nemo unquam judicent in se, siapapun tidak boleh menjadi hakim dalam perkaranya sendiri. Hal ini untuk mempertahankan prinsip demokrasi negara kita.

Sudah jelas negara kita sekarang bukan negara hukum lagi tapi sudah mulai bergeser dengan rapi menuju negara kekuasaan. Bahwa hukum tidak memandang pribadi-pribadi, akan tetapi  mustahil untuk mengabaikan kenyataan.

Tugas dan fungsi MK

Perlu ditanyakan kembali kepada publik agar kita semua paham apakakah MK berjalan sesuai dengan fungsinya. Secara umum kita paham bahwa MK harus memeriksa persoalan dengan hati-hati, kemudian mengadili dengan seadil-adilnya dan memutus perkara berdasarkan pertimbangan konstitusional.

MK memiliki lima fungsi yang melekat dan harus dijaga demi keberadaan MK serta dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, yaitu: bertugas mengawal konstitusi, interpretasi final konstitusi, melindungi hak asasi manusia, melindungi hak konstitusional bagi warga negara,dan melindungi demokrasi dari ancaman segala bentuk perusakan demokrasi.

Mari kita resapi dan renungkan bersama, apakah fungsi MK relevan dengan kondisi yang saat ini dialami?

Sebagai negara yang menganut sistem eropa kontinental atau bisa disebut bahwa hukum yang berlaku sesuai dengan undang-undang yang tertulis. Dalam UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dijelaskan sebagai berikut:

Salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan.

Dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi sekaligus untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan dimasa lalu yang menimbulkan tafsir ganda terhadap konstitusi.

Seorang pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, menguraiakan lebih jelas lagi. Jika dipandang dalam sudut ilmu hukum ketatanegaraan, MK dikonstruksikan berada digarda terdepan sebagai pengawal konstitusi, yang berfungsi menegakkan keadilan kosntitusional seadil-adilnya di ranah kehidupan masyarakat.

MK memiliki tugas dengan memajukan dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua unsur-unsur negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Dengan segala kelemahan yang berada dalam sistem konstitusi.

MK harus mempunyai peran dan dampak sebagai penafsir supaya semangat konstitusi selalu menyala untuk memastikan keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat secara benar

Demokrasi di persimpangan jalan

Perhelatan bangsa Indonesia mulai dari orde lama, orde baru sampai reformasi, perjuangan menuju demokrasi bukanlah suatu hal yang muda. Perlu kita soroti bahwa negara Indonesia berprinsip sebagai negara demokrasi. Memperjuangkan suatu negara demokrasi ini, kita mungkin dapat memahami betapa sulitnya untuk mencari sebuah nama demokrasi yang sesungguhnya,

Apalagi masih belum menemukan wilayah yang tepat untuk menaruh nama demokrasi. Arti sebuah demokrasi sungguh memang barang antik. Demokrasi yang ditancapkan di negeri kita tidak mementingkan dari sebuah ide dan gagasan, justru selalu menuai intrik dan kontroversi. Mengingat perjalanan negara Indonesia dalam memperjuangkan negara demokrasi.

Menjadi bahan perdebatan yang sampai sekarang belum mencapai titik temu. Menjadi obrolan yang mustahil jika kita mengakui negara yang menganut prinsip demokrasi  tanpa mengetahui gambaran maksud dan tujuan dengan tepat bertingkah laku layaknya demokrasi.

Justru yang terjadi saat ini bagi kebanyakan orang dengan semangat mengatakan demokrasi tidak menanamkan dan merawat arti sebuah demokrasi dalam bernegara. Justru aktor perusak bagi negara demokrasi sendiri adalah pemerintah. Saat ini melakukan hal yang sama, bagi kebanyakan orang, begitulah bicara tentang demokrasi tapi lupa dengan penghayatan.

Demokrasi selalu menarik untuk diperbincangkan, sebuah nama yang bergerak dinamis, kadangkala bergerak mundur juga bisa bergerak maju. Bisa dikatakan bahwa demokrasi merupakan kata kerja bukan kata benda yang dinamis selalu bergerak dan berdampak.

Check list untuk merencanakan sekaligus mengimplementasikan sebagai barometer bagaimana maju mundurnya demokrasi, bertambah atau justru malah berkurangnya kebebasan asasi, yaitu kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul.

Jika diuraikan secara luas terdapat dalam bidang-bidang kehidupan individu dan kolektif, seperti hak politik, ekonomi, budaya, dan hukum

Transisi menuju demokrasi itulah Indonesia, maka seharusnya gagasan tentang arti nama sebuah demokrasi harus diimplementasikan di ranah kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut lagi, sebagai patokan cara hidup dan bertingkah laku (way of life) layaknya demokrasi. Bagaimana kita menjalankan demokrasi? Seperti apa cara yang harus ditempuh untuk menegakan demokrasi?

Ada banyak, tapi akan kita fokuskan pada satu poin yang sangat relevan dengan kondisi negara kita, yaitu tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Memang prinsip ini merupakan hal yang sangat mendasar sekali, tetapi jika tidak memperhatikan prinsip tersebut maka kita tidak akan sampai di negara demokrasi.

Filsuf yang sangat terkenal akan pemikiranya dari Prancis, Albert Camus menyatakan “Indeed the end justifies the means. But what justifies the end? The means?” memiliki arti, demokrasi mengalami kehancuran bila terjadi pertikaian yang tidak diselesaikan secara cepat dan tepat terkait cara dan tujuan.

Penerapan prinsip ini harus diperjuangkan secara hati-hati menggunakan etika, sebab hal ini menjadi ukuran nilai politik yang bermoral. Demokrasi tidak terbayang tanpa akhlak. Demokrasi memerlukan tingkat kepercayaan diri yang tinggi bebas dari rasa kekhawatiran, kecemasan dan pesimis. (*)

(*) Anas Sholihuddin adalah mahasiswa angkatan 2022 pada Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Kediri.